MENGELOLA KONFLIK
Saya akan membahasnya, silahkan di simak baik-baik.
HAKIKAT KONFLIK
1. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata asing conflict yang pada gilirannya berasal dari kata confligere co (yang berarti ‘bersama’ atau ‘bersaling-silang’) + fligere (yang berarti ‘tubruk’ atau ‘bentur’). Didefinisikan secara bebas dari arti harfiahnya itu, ‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan bersilang jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan. Konflik itu pada umumnya didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang timbul karena adanya niat-niat bersengaja antara pihak-pihak yang berkonflik itu. Dalam peristiwa seperti ini, konflik merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masing-masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama ini, atau setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya itu ke posisi yang lebih tersubordinasi.
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara makna-makna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidak cocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di berikut ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.
a. Daniel Webster
1) Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2) Keadaan atau perilaku yang bertentangan.
3) Perselisihan kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan.
4) Perseteruan.
b. Luthans
Konflik adalah suatu hal yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan.
c. Cummings
Konflik sebagai suatu proses interaksi sosial, di mana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih berbeda atau bertentangan dalam pendapat dan tujuan mereka.
d. Alisjahbana
Mengartikan konflik sebagai perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama.
e. Dubrint
Mengartikan konflik sebagai pertentangan antara individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan.
f. Winardi
Mengemukakan bahwa konflik adalah oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi.
2. Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996 : 431) disebut sebagai The Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik. Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik.
a. Robbins
1) Pandangan Tradisional (The Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2) Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View)
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
3) Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
b. Stoner dan Freeman
Membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view). Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam keterangan di bawah, kedua cara pandangan: "tradisional dan modern, dibedakan dalam lima aspek, yaitu : cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal.
* Pandangan Kuno (Tradisional) :
— Konflik dapat dihindari
— Konflik disebabkan karena adanya kesalahan manajemen dalam hal mendesain dan manajemen organisasi-organisasi atau karena adanya pengacau-pengacau.
— Konflik merusak organisasi yang bersangkutan dan menyebabkan tidak tercapainya hasil optimal.
— Tugas manajemen adalah meniadakan konflik.
— Agar dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal, maka konflik perlu ditiadakan.
* Pandangan Modern :
— Konflik tidak dapat dihindari.
— Konflik muncul karena aneka macam sebab, termasuk di dalamnya struktur organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam tujuan-tujuan yang tidak dapat dihindari, perbedaan-perbedaan dalam persepsi-persepsi, serta nilai-nilai personalia yang terspesialisasi dan sebagainya.
— Konflik membantu, kadang-kadang menghambat hasil pekerjaan organisatoris dengan derajat yang berbeda-beda.
— Tugas manajemen adalah mengelola tingkat konflik, dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal.
— Hasil pekerjaan optimal secara organisatoris, memerlukan konflik moderate.
3. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik
Konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga kategori, yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensi adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatis, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Posting Komentar untuk "MENGELOLA KONFLIK"